Hidup perlahan terasa semakin lengkap. Punya keluarga kecil,
kesehatan juga rezeki yang melimpah ruah, dan yang paling disyukuri dukungan
keluarga yang nggak ada habisnya. Perlahan hal-hal yang dulunya nggak pernah
ada dipikiran gue, terjadi mengalir begitu saja seiring dengan doa. Pertanyaan
basi yang sering dilontarkan orang-orang sekitar terjawab sudah, padahal mereka
juga nggak peduli dengan jawaban ini. Rencana hidup yang dibuat memang nggak
ada urusannya dengan orang lain, namanya juga rencana hidup, yang tahu keadaan
dan situasi yaa diri sendiri. Kasarnya, 'hidup.. hidup gue, kenapa lu yang
repot mikirin'. Beruntungnya gue, nggak pernah terpengaruh untuk urusan seperti
itu, jalanin saja, toh orang lain hanya tahu luarnya saja.
Rencana berujung hasil, kalau nggak ada hasilnya buat apa berencana. Hamil itu rencana, bayi keluar itu hasilnya. Semacam deadline, waktu hamil setiap bulan menjadi deadline gue untuk bikin pertumbuhan bayi sesuai dengan umurnya. Persalinan yang maju seminggu dari perkiraannya juga kayak klien yang tiba-tiba minta jadi hari itu juga. Umur kehamilan yang waktu itu sudah mencapai 39 minggu 2 hari, hasil rekam jantung bayi (CTG) dengan rata-rata 120, dan pembukaan satu setelah (yang niatnya hanya) kontrol ke dokter, harus siap untuk melakukan persalinan.
Sedikit cerita, sebelum sampai di ruang observasi dan membuat panik dokter jaga, bidan, dan suster, gue dan suami dengan pedenya memilih untuk jalan-jalan dulu ke Gandaria City setelah kontrol dokter saat itu. Mungkin karena gue dari mall, capek jalan, alarm alat CTG bunyi pertanda pulsenya dibawah rata-rata, nggak lama kembali normal. Gue menginap semalam di ruang observasi, merasakan kontraksi, tidur berdua sama suami, dan bolak-balik ke kamar mandi karena kontraksi membuat tekanan antara ingin buang air kecil maupun buang air besar yang nggak keluar. Setiap melihat jam dan kontraksi menjadi susunan puzzle tameng mental menghadapi saat-saat bayi minta keluar. Sampai akhirnya jam 10.00 wib pembukaan tiga yang diikuti pecah ketuban, jam 11.00 wib bayi sudah keluar.
Nggak perlu gue jelaskan bagaimana rasanya melahirkan normal atau spontan, memang susah diungkapkan dengan kata-kata. Sakit sekali tapi yang pasti, setelah bayi keluar dan gue peluk untuk IMD (Inisiasi Menyusui Dini), hanya perasaan lega dan bahagia yang tersisa.
Rencana berujung hasil, kalau nggak ada hasilnya buat apa berencana. Hamil itu rencana, bayi keluar itu hasilnya. Semacam deadline, waktu hamil setiap bulan menjadi deadline gue untuk bikin pertumbuhan bayi sesuai dengan umurnya. Persalinan yang maju seminggu dari perkiraannya juga kayak klien yang tiba-tiba minta jadi hari itu juga. Umur kehamilan yang waktu itu sudah mencapai 39 minggu 2 hari, hasil rekam jantung bayi (CTG) dengan rata-rata 120, dan pembukaan satu setelah (yang niatnya hanya) kontrol ke dokter, harus siap untuk melakukan persalinan.
Sedikit cerita, sebelum sampai di ruang observasi dan membuat panik dokter jaga, bidan, dan suster, gue dan suami dengan pedenya memilih untuk jalan-jalan dulu ke Gandaria City setelah kontrol dokter saat itu. Mungkin karena gue dari mall, capek jalan, alarm alat CTG bunyi pertanda pulsenya dibawah rata-rata, nggak lama kembali normal. Gue menginap semalam di ruang observasi, merasakan kontraksi, tidur berdua sama suami, dan bolak-balik ke kamar mandi karena kontraksi membuat tekanan antara ingin buang air kecil maupun buang air besar yang nggak keluar. Setiap melihat jam dan kontraksi menjadi susunan puzzle tameng mental menghadapi saat-saat bayi minta keluar. Sampai akhirnya jam 10.00 wib pembukaan tiga yang diikuti pecah ketuban, jam 11.00 wib bayi sudah keluar.
Nggak perlu gue jelaskan bagaimana rasanya melahirkan normal atau spontan, memang susah diungkapkan dengan kata-kata. Sakit sekali tapi yang pasti, setelah bayi keluar dan gue peluk untuk IMD (Inisiasi Menyusui Dini), hanya perasaan lega dan bahagia yang tersisa.
Sekarang, deadline gue setiap 2 atau 3 jam sekali, itu baru deadline menyusui, belum lagi pekerjaan rumah tangga maupun melayani suami. Benar kata dokter dan para suster, saat gue bilang, "Kelar deh hamilnya, udah lega." Mereka membalas, "Siapa bilang, justru sekarang baru mulai perjuangannya."
Kata-kata gue di posting-an sebelum ini, yang intinya mau fokus mengurus bayi
itu ternyata memang harus terjadi. Menjadi mama baru dimasa pemulihan dan harus
terus mengurus bayi baru memang susah-susah gampang. Harus mengikuti motto dua
minggu pasca persalinan, yaitu 'Bayi tidur, Mama ikut tidur' karena ini penting
untuk membantu kelancaran ASI dan pemulihan tubuh mama pasca persalinan.
Beruntung gue dapat cuti melahirkan full tiga bulan. Sebuah deadline lagi bagaimana mengurus bayi tiga bulan yang ditinggal kerja nanti. Sekarang saja mulai ada selipan pekerjaan kantor yang harus diurus, tapi harus tetap fokus, bawa senang saja demi bayi yang masih butuh ASI.
Sampai kapan seperti ini?
Bagaimana cara gue membatasi diri?
Walaupun lelahnya deadline pekerjaan ternyata nggak seberapa dibandingkan dengan mengurus bayi baru. Menjalani 275 hari umur kehamilan, 23 hari mengurus bayi dan masih terus berjalan, rasanya tiga bulan itu kurang.
Deadline menjalani hidup memang pantas dipikirkan secara matang. Membuat rencana agar prosesnya dapat berjalan dengan lancar. Semoga rencana selanjutnya bisa dimudahkan.
Bismillah :)
Beruntung gue dapat cuti melahirkan full tiga bulan. Sebuah deadline lagi bagaimana mengurus bayi tiga bulan yang ditinggal kerja nanti. Sekarang saja mulai ada selipan pekerjaan kantor yang harus diurus, tapi harus tetap fokus, bawa senang saja demi bayi yang masih butuh ASI.
Sampai kapan seperti ini?
Bagaimana cara gue membatasi diri?
Walaupun lelahnya deadline pekerjaan ternyata nggak seberapa dibandingkan dengan mengurus bayi baru. Menjalani 275 hari umur kehamilan, 23 hari mengurus bayi dan masih terus berjalan, rasanya tiga bulan itu kurang.
Deadline menjalani hidup memang pantas dipikirkan secara matang. Membuat rencana agar prosesnya dapat berjalan dengan lancar. Semoga rencana selanjutnya bisa dimudahkan.
Bismillah :)