Saturday, December 13, 2014

Get Ready for the Next Stage

Hampir saja gue mengecewakan diri sendiri, nggak percaya diri dengan apa yang sudah diberi. Kehadiran little me yang tiba-tiba sudah hampir lima minggu waktu itu membuat hati gue bingung, mau senang atau mau sedih. Senang karena ini rezeki, memang sudah dinanti. Sedih karena keadaan yang lagi seperti ini, takut kalau badan nggak stabil dan mengecewakan suami kedepannya nanti.

Dokter yang tenang menjelaskan segalanya dan selalu bilang hal terburuk yang akan terjadi kalau ada sesuatu yang nggak kita tahu. Gue hanya pasrah, melihat semakin hari semakin stress karena pekerjaan yang semakin nggak stabil, semuanya di-push sampai tenaga terakhir. Sampai pada akhirnya bisa dibawa santai sama pikiran supaya nggak stress, banyak yang mengingatkan juga kalau trimester pertama itu harus dijaga. Pikiran aman terkendali, tapi sangat disayangkan badan sudah nggak bisa dikendalikan lagi. Tiga hari sebelum hari penentuan ada janin di kantung gue atau nggak, gue sakit, awalnya hanya bersin-bersin, karena semakin diforsir nggak kenal waktu, pulang malam malah membuat gue jadi flu.

Gue semakin nggak yakin.. cuma bilang sama little me, kalau memang rejeki dan kuat bertahan, kedepannya akan gue perhatikan.

Sehari sebelum ketemu dokter lagi, badan sudah lemas sekali, awalnya nggak mau masuk kerja, ingat sama janji yang nggak bisa dilewatkan demi nggak dicaci maki. Gue paksakan, berangkat siang, pulangnya kemalaman. Demam semakin menjadi, nggak boleh ada obat flu yang dikonsumsi, hidung terasa tertutup sendiri, cuma bisa minum air putih yang banyak dan makan buah jeruk yang asam dan manis sekali-kali. Nggak bisa tidur cepat saat itu, benar-benar nggak bisa napas dari hidung, nggak taunya sudah pagi lagi. Lemas sebadan-badan, mencoba kuat tapi badan menolak. Ingat kata nyokap, jangan minum obat, bikin saja air jahe hangat. Pagi menjelang siang, sebelum sarapan lumayan bikin hangat, napas juga lumayan lega. Menjelang sore, siap-siap ketemu dokter untuk penentuan.

Dokter nggak pakai basa-basi, langsung nyuruh naik untuk USG. Ini baru tujuh minggu, alat baru nempel perut, mata gue langsung fokus ke monitor, eh, little me nongol! Dokter belum ngomong, gue udah hahahehe duluan dan tepuk tangan. Pas dokter bilang hamdalah dan memberi tahu kalau sudah ada detak jantungnya, gue langsung melirik ke suami yang lagi senyum sumringah.

Alhamdulillah.. 
Ternyata little me kuat dan hebat nggak ketulungan! Padahal badan mumnya lagi berantakan nggak karuan. 

Ini peringatan buat gue yang masih wira wiri terlalu ngurusin kantor yang lagi nggak terkendali. Sekarang harus ingat kalau ada suami dan little me yang nggak bisa keterusan dicuekin berkali-kali. Hidup harus diseimbangkan kembali, susah senang harus tetap bahagia. Kayak harus kembali lagi ke kursi pilot untuk menstabilkan pesawat yang lagi hilang kendali. 

Sekarang, mau kemana kita, little me? Terus berdetak sampai waktu yang sudah ditentukan, ya.. gue sayang sama, little me. 






- Little Me Story, Part 1


Jacko!



Kehilangan sosok yang membuat gue selalu berpikir lebih gila dan bekerja lebih waras untuk menghasilkan karya yang maksimal sungguh sangat membuat hati ini kecewa. Kecewa pada diri sendiri yang nggak pernah sadar kalau hal ini pasti terjadi kapan pun. Kaget karena nggak berpikir akan secepat ini, hari itu waktu tiba di kantor dan mendengar kabar dari om Gio bahwa mas Bo sedang 'mengurus' di lantai delapan. Shock. Rasanya seperti lagi mandi dipancuran air yang segar tiba-tiba listrik mati. Gelap, nggak ada air, panik, hanya bisa terpeleset jatuh dan merasakan sakitnya dikegelapan tanpa melihat bagian yang terluka. 
Nggak mau menerima jabat tangannya mas Bo setelah turun dari lantai delapan, gue cuma bisa teriak didalam hati, cuma bisa manggil-manggil nama mas Bo. 
"Seharusnya gue senang, mas Bo, gue kan baru lulus kuliah. Kenapa harus kayak gini, sih, keadaannya?"
Pertanyaan itu terucap. Lebay, bisa dibilang seperti itu, tapi kalau kalian ikut merasakan dan tahu keadaannya, kalimat itu wajar untuk diucapkan. Gue nggak punya rasa percaya diri, hilang sudah rasa peduli, nggak punya kendali, hanya bisa menjalankan apa yang bakal ditinggalkan nanti.
Cukup lama untuk proses menerima keadaan itu, mas Bo pasti menyadari. Gue memilih untuk menyendiri mencari udara segar agar berpikir jernih dibandingkan nangis didepan mas Bo. 
Mengingat waktu itu.. 
Orang yang pertama kali gue lihat diruang interview, orang yang sangat tenang diantara dua yang lainnya, orang yang nggak gue sangka ternyata bakal jadi bos gue yang paling top. Bos yang kadang terlalu santai, bikin gue jadi kesel karena gue nggak terima tim gue diperlakukan nggak adil. Tapi mas Bo nggak pernah marah, kesel sih pernah walaupun tetap berusaha untuk tetap tenang dan berpikir positif. Iya, mas Bo EPos menurut gue, Energi Positif. Malahan gue yang terlalu banyak mengeluh di depan mas Bo. Maklum gue karyawan ababil, mungkin perbedaan level yang cukup tinggi dibandingkan gue yang membuat mas Bo lebih tenang untuk menghadapi segala bentuk tantangan yang datang setiap minggunya. Gue yang selalu izin ini itu karena jadwal kuliah yang kadang barengan sama deadline kantor, mungkin mas Bo udah khatam. "Santai, ta, santai, yang penting kerjaan kamu kelar," selalu begitu jawabannya. 
Sekarang...
Mas Bo sudah nggak lagi duduk di samping gue, kubikel jadi sepi tanpa lagu-lagu Koes Plus dan suara nyanyian mas Bo yang khas. Nggak ada lagi cerita aneh dengan tiruan gaya bersemangat, kayak gaya tukang bubur yang terkenal itu, baso seseupan, sampai gaya sholat orang yang berbeda-beda. Mas Bo sangat terkenal sebagai penengah, rasanya kalau kantor lagi rusuh dengan masalah ini itu, nggak tenang dan belum lengkap kalau mas Bo belum angkat bicara. Bapaknya anak-anak HAI, walaupun mas Bo yang sudah dewasa ini nggak mau dipanggil bapak. Orang yang bisa bikin anak Hai bayar seribu kalau ngomong jorok. Orang sudah dikenal banyak orang di gedung jalan panjang. Setiap gue ketemu orang dari unit lain, pasti yang ditanya kabar mas Bo. Agak sedikit sedih, bukan karena gue nggak ditanya, hanya saja mengingat kenapa mas Bo harus meninggalkan kantor bukan cerita yang menyenangkan. 
Banyak cerita yang nggak mungkin gue tulis semuanya disini, semua orang tahu kalau mas Bo orangnya baik.
Gitu saja, sih.. mungkin gue lagi kangen sosok mas Bo dikeadaan seperti ini. Tulisan ini sudah mengendap lama diponsel dan akhirnya diposting juga. Gue hanya bisa mendokan yang terbaik buat semuanya, buat mas Bo juga, yup.. Bapak Joko Prayitno, pemilik Enda Endo. Hehehe.. 


Good luck!